Hukum Pergi Haji Tanpa Izin Suami



الســـــلام عليكم ورحمة اللـــہ وبركاتـہ

ﺑﺴـــــــــــﻢ اللـــہ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴــــــــــﻢ  

𝙈𝙚𝙢𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙞𝙯𝙞𝙣 𝙠𝙚𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙨𝙪𝙖𝙢𝙞 ketika hendak keluar rumah merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi bagi seorang istri. Bahkan menurut 𝙐𝙡𝙖𝙢𝙖' 𝙎𝙮𝙖𝙛𝙞'𝙞𝙮𝙮𝙖𝙝 dan 𝙃𝙖𝙣𝙖𝙗𝙞𝙡𝙖𝙝, tidak boleh bagi seorang istri keluar untuk mengunjungi ayahnya yang sakit kecuali dengan izin suami.

📚 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝘀𝗵𝗼𝗹𝗹𝗮𝗹𝗹𝗼𝗵𝘂 '𝗮𝗹𝗮𝗶𝗵𝗶 𝘄𝗮𝘀𝗮𝗹𝗹𝗮𝗺𝗮, 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗮𝗯𝗱𝗮:

“𝘼𝙥𝙖𝙗𝙞𝙡𝙖 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙠𝙖𝙡𝙞𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙢𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙞𝙯𝙞𝙣 𝙠𝙚𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙠𝙖𝙡𝙞𝙖𝙣 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖𝙩 𝙠𝙚 𝙢𝙖𝙨𝙟𝙞𝙙 𝙢𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙢𝙖𝙠𝙖 𝙞𝙯𝙞𝙣𝙠𝙖𝙣𝙡𝙖𝙝.” (𝙃𝙍. 𝘼𝙡 𝘽𝙪𝙠𝙝𝙤𝙧𝙞 𝙙𝙖𝙣 𝙈𝙪𝙨𝙡𝙞𝙢).

📖 𝗜𝗺𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗛𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗱𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗙𝗮𝘁𝗵𝘂𝗹 𝗕𝗮𝗿𝗶 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮:

‘‘𝙄𝙢𝙖𝙢 𝙉𝙖𝙬𝙖𝙬𝙞 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘵𝘴 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘭𝘪𝘭 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘻𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢.‘‘

📖 𝗗𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯 𝗠𝗮𝗿𝗾𝗼𝘁𝘂 𝗦𝗵𝘂’𝘂𝗱𝗶𝘁 𝗧𝗮𝘀𝗱𝗶𝗾 𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗦𝘂𝗹𝗹𝗮𝗺𝘂𝘁 𝗧𝗮𝘂𝗳𝗶𝗾 𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗡𝗮𝘄𝗮𝘄𝗶 𝗮𝗹 𝗕𝗮𝗻𝘁𝗮𝗻𝗶 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁𝗸𝗮𝗻:

(ويجب أن (لاتخرج من بيته) الذي اسكنها فيه الزوج (الا بإذنه) فإن الخروج من غير اذن يعد نشوز الا لعذر كخوف من انهدام المسكن أو غيره

‘‘𝘞𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘬𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘺𝘢𝘬𝘯𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘪 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘻𝘪𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘔𝘢𝘬𝘢 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘪𝘻𝘪𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢𝘱 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 (𝙣𝙪𝙨𝙮𝙪𝙯) 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘶𝘥𝘻𝘶𝘳 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘬𝘩𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 (𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘯𝘢) 𝘳𝘰𝘣𝘰𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢.‘‘

✍ 𝗢𝗹𝗲𝗵 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗶𝘁𝘂:

➡ Hukumnya juga wajib bagi seorang istri meminta izin kepada suami ketika hendak keluar untuk menunaikan ibadah haji.

➡ Sedangkan bagi suami disunahkan memberikan izin kepada istrinya. 

📖 𝗗𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯 𝗙𝗶𝗾𝗵𝘂𝗻 𝗡𝗶𝘀𝗮’ 𝗙𝗶𝗹 𝗛𝗮𝗷𝗷 𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗔𝘁𝗵𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵 𝗞𝗵𝘂𝗺𝗮𝗶𝘀 𝗱𝗶𝗸𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻:

وقال الاحناف وأحمد وهو الصحيح عن الشافعي ليس للرجل منع امرأته من حجة الاسلام اي حجة الفريضة الاولى

“𝙐𝙡𝙖𝙢𝙖’ 𝙃𝙖𝙣𝙖𝙛𝙞 𝘥𝘢𝘯 𝘼𝙝𝙢𝙖𝙙 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘩𝘰𝘩𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝙄𝙢𝙖𝙢 𝙎𝙮𝙖𝙛𝙞'𝙞 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘩𝘢𝘫𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢.‘‘

👉 𝗟𝗮𝗹𝘂 𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗷𝗶𝗸𝗮 𝘀𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘀𝘂𝗮𝗺𝗶 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗮𝘂 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗶𝘇𝗶𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗶𝘀𝘁𝗿𝗶𝗻𝘆𝗮 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶 𝗵𝗮𝗷𝗶?

📖 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗔𝘁𝗵𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵 𝗞𝗵𝘂𝗺𝗮𝗶𝘀 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘁𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝘁𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮:

➡ Jika suami tidak mau memberikan izin kepada istrinya yang hendak beribadah haji, maka bagi istri boleh keluar tanpa seizin suaminya. Karena haji itu berhukum wajib, sedangkan meninggalkan perkara wajib itu adalah kemaksiatan.

➡ Sementara itu, di dalam 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢 dikenal jargon 𝙇𝙖 𝙏𝙝𝙤’𝙖𝙩𝙖 𝙡𝙞 𝙈𝙖𝙠𝙝𝙡𝙪𝙦𝙞𝙣 𝙁𝙞 𝙈𝙖’𝙨𝙝𝙞𝙖𝙩𝙞𝙡 𝙆𝙝𝙤𝙡𝙞𝙠 ‘‘𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘵𝘢𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘩𝘭𝘶𝘬 (𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪) 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘭 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘴𝘪𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘩𝘰𝘭𝘪𝘬 (𝘈𝘭𝘭𝘰𝘩).‘‘ Namun dengan syarat keluarnya istri untuk haji tersebut disertai dengan mahrom (meskipun pendapat madzhab 𝙈𝙖𝙡𝙞𝙠𝙞 dan 𝙎𝙮𝙖𝙛𝙞'𝙞 tidak mensyaratkan adanya mahrom ketika seorang wanita pergi haji), amannya perjalanan, hajinya bukan uang suaminya (yakni murni miliknya), dan suaminya sedang tidak membutuhkan (bantuan) nya.

➡ Jika istri tidak memiliki uang untuk pergi haji, dan suami enggan memberikan nafkah untuk ongkos haji, maka ia tidak wajib menunaikan haji, karena ia statusnya tidak mampu, atau posisi suaminya sedang membutuhkan bantuannya untuk menyiapkan makanan, pakaian, tempat tinggal dan obat-obatan jika suaminya sakit atau adanya kebutuhan hidup yang bersifat primer lainnya.

✍ 𝗢𝗹𝗲𝗵 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗶𝘁𝘂:

➡ Jika suami membutuhkannya semisal suami dalam kondisi sakit, atau suami memiliki keluarga yang ia tidak dapat mengurus mereka jika tidak ada istrinya, maka istri tidak wajib pergi haji sampai suaminya tidak butuh bantuannya, karena ia (istri) dianggap belum mampu menunaikan haji. Selain itu, haji adalah kewajiban yang tidak musti harus dilakukan seketika/ saat itu juga menurut mayoritas para 𝙐𝙡𝙖𝙢𝙖' 𝙁𝙞𝙦𝙝. Sehingga jika terhalang ditahun ini, maka dimungkinkan menunaikannya di tahun depan, begitu seterusnya.

➡ Adapun jika istri pergi untuk haji yang berhukum sunnah (haji yang kedua atau seterusnya), maka bagi suami boleh mencegahnya (tidak memberikan izin untuknya) menurut kesepakatan Ulama'. Namun suami tidak boleh mencegahkanya dalam haji yang dinadzari, karena haji nadzar juga berhukum wajib, seperti haji yang menjadi 𝙍𝙪𝙠𝙪𝙣 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢 (haji pertama).

✍ 𝗦𝗲𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗮𝘀𝗵𝗼𝗵 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗿𝘂𝘁 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮‘ 𝗦𝘆𝗮𝗳𝗶‘𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵, 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮:

➡ Bagi suami boleh mencegah haji fardunya istri, karena melihat dari kewajiban haji yang boleh untuk ditunda. Selain itu, terdapat hadis riwayat 𝙉𝙖𝙛𝙞’ dari 𝙄𝙗𝙣𝙪 𝙐𝙢𝙖𝙧 rodliyallohu 'anhuma, tentang seorang wanita yang memiliki suami dan ia pun memiliki harta namun suaminya tidak mengizinkannya untuk pergi haji.

📚 𝗠𝗮𝗸𝗮 𝗥𝗼𝘀𝘂𝗹𝘂𝗹𝗹𝗼𝗵 𝘀𝗵𝗼𝗹𝗹𝗮𝗹𝗹𝗼𝗵𝘂 '𝗮𝗹𝗮𝗶𝗵𝗶 𝘄𝗮𝘀𝗮𝗹𝗹𝗮𝗺𝗮, 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗮𝗯𝗱𝗮:

لَيْسَ لَهَا أَنْ تَنْطَلِقَ اِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا

‘‘𝙏𝙞𝙙𝙖𝙠 (𝙗𝙤𝙡𝙚𝙝) 𝙗𝙖𝙜𝙞𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖𝙩 (𝙝𝙖𝙟𝙞) 𝙠𝙚𝙘𝙪𝙖𝙡𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙞𝙯𝙞𝙣 𝙨𝙪𝙖𝙢𝙞𝙣𝙮𝙖.‘‘ (𝙃𝙍. 𝘼𝙡 𝘿𝙖𝙧𝙪 𝙌𝙪𝙩𝙝𝙣𝙞).

✍ 𝗡𝗮𝗺𝘂𝗻 𝗱𝗶𝗸𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮:

➡ Terdapat perawi yang meriwayatkan hadits ini bernama 𝙈𝙪𝙖𝙝𝙢𝙢𝙖𝙙 𝙗𝙞𝙣 𝙈𝙪𝙟𝙖𝙨𝙮𝙞‘ yang statusnya tidak diketahui. Sedangkan 𝙅𝙪𝙢𝙝𝙪𝙧 𝙐𝙡𝙖𝙢𝙖‘ menjawab bahwa hadits ini dikaitkan dengan haji yang berhukum sunnah.

➡ Sejatinya, dalam hubungan suami dan istri, komunikasi adalah hal yang penting, agar tercipta keluarga yang maslahat dan sakinah. Semoga bermanfaat