الســـــلام عليكم ورحمة اللـــہ وبركاتـہ
ﺑﺴـــــــــــﻢ اللـــہ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴــــــــــﻢ
📜 𝗣𝗘𝗡𝗚𝗘𝗥𝗧𝗜𝗔𝗡 𝗞𝗛𝗜𝗧𝗕𝗔𝗛 (𝗧𝗨𝗡𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡/𝗟𝗔𝗠𝗔𝗥𝗔𝗡)
Perlu diketahui, 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 itu bukan pernikahan yang wajib mengasih mahar. Kalo pernikahan, baru diwajibkan memberi mahar. Sebagai langkah awal sebelum terjadinya pernikahan, syari'at 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢 menganjurkan adanya 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 (lamaran).
✍ 𝗧𝘂𝗷𝘂𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵:
➡ Untuk menambah pengetahuan dan pengenalan antara calon suami dan istri.
Dengan 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝, calon suami boleh mengenal dan mencari tahu lebih jauh tentang watak, perilaku, sifat, dan kecenderungan calon istrinya, begitupun sebaliknya.
✍ 𝗛𝗮𝗿𝗮𝗽𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵:
➡ Kedua pasangan bisa melanjutkan pada jenjang pernikahan dengan hati dan perasaan yang lebih yakin dan sempurna. Bahasa bekennya, “𝙖𝙜𝙖𝙧 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙪𝙨𝙩𝙖 𝙙𝙞 𝙖𝙣𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖.”
𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 merupakan tahapan pertama sebelum membentuk ikatan suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Umumnya, praktik ini dilakukan oleh pihak mempelai pria untuk menyampaikan keinginan dan kesungguhannya dalam menikahi mempelai wanita, meski pada dasarnya boleh-boleh saja 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 dilakukan oleh pihak mempelai wanita.
Hanya saja, dalam prosesnya terkadang tidak selalu berjalan sesuai harapan. Betapa pun kesepakatan 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 sudah terlaksana, adanya kendala terkadang mempengaruhi keberlangsungan 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 pada jenjang selanjutnya. Bahkan, kadang ada peristiwa yang mengharuskan salah satu atau kedua belah pihak membatalkan rencana pernikahan yang disepakati pascalamaran.
Membahas tentang hukum membatalkan rencana pernikahan dalam 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢 menjadi pembahasan yang menarik dan penting untuk dipahami. Sebab, 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 merupakan sebuah proses yang biasanya dijadikan jalan paling baik untuk menuju ikatan rumah tangga, sebagaimana yang dijelaskan dalam 𝙁𝙞𝙦𝙞𝙝 𝙥𝙚𝙧𝙣𝙞𝙠𝙖𝙝𝙖𝙣 (𝙢𝙪𝙣𝙖𝙠𝙖𝙝𝙖𝙝).
📒 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗠𝗲𝗺𝗯𝗮𝘁𝗮𝗹𝗸𝗮𝗻 𝗡𝗶𝗸𝗮𝗵 𝗨𝘀𝗮𝗶 𝗧𝘂𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻/𝗟𝗮𝗺𝗮𝗿𝗮𝗻
𝙎𝙮𝙚𝙠𝙝 𝘿𝙧. 𝙒𝙖𝙝𝙗𝙖𝙝 𝙖𝙯-𝙕𝙪𝙝𝙖𝙞𝙡𝙞 dalam kitab 𝙖𝙡-𝙁𝙞𝙦𝙝𝙪𝙡 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢𝙞 𝙬𝙖 𝘼𝙙𝙞𝙡𝙡𝙖𝙩𝙪𝙝, menjelaskan, bahwa 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 tidak bisa dianggap sama dengan 𝙉𝙞𝙠𝙖𝙝. Keduanya merupakan dua komponen yang berbeda, sehingga mempunyai ketentuan yang juga berbeda.
📖 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝘀𝗲𝗯𝘂𝘁𝗸𝗮𝗻:
بما أن الخطبة ليست زواجاً، وإنما هي وعد بالزواج، فيجوز في رأي أكثر الفقهاء للخاطب أو المخطوبة العدول عن الخطبة
“𝘔𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘬𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘼𝙠𝙖𝙙 𝙉𝙞𝙠𝙖𝙝, 𝘥𝘢𝘯 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘮𝘢𝘺𝘰𝘳𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘜𝘭𝘢𝘮𝘢', 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘭𝘢𝘪 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘣𝘢𝘩 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘢𝘮𝘢𝘳𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 (𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢).” (𝙎𝙮𝙚𝙠𝙝 𝘿𝙧. 𝙒𝙖𝙝𝙗𝙖𝙝 𝙖𝙯-𝙕𝙪𝙝𝙖𝙞𝙡𝙞, 𝙖𝙡-𝙁𝙞𝙦𝙝𝙪𝙡 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢𝙞 𝙬𝙖 𝘼𝙙𝙞𝙡𝙡𝙖𝙩𝙪𝙝, [𝘽𝙚𝙞𝙧𝙪𝙩: 𝘿𝙖𝙧 𝙖𝙡-𝙁𝙞𝙠𝙧 𝟮𝟬𝟭𝟬], 𝙟𝙪𝙯 𝟵, 𝙝. 𝟭𝟵).
𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 dengan segala ketentuannya memang belum bisa dianggap sebagai 𝘼𝙠𝙖𝙙 𝙉𝙞𝙠𝙖𝙝. Sebelum 𝘼𝙠𝙖𝙙 (𝙉𝙞𝙠𝙖𝙝) terjadi antara keduanya, masing-masing belum mempunyai tanggungan apa pun, dan tidak mempunyai beban antara keduanya. Hanya saja, dalam kelanjutan pernyataannya, 𝙎𝙮𝙚𝙠𝙝 𝘿𝙧. 𝙒𝙖𝙝𝙗𝙖𝙝 𝙖𝙯-𝙕𝙪𝙝𝙖𝙞𝙡𝙞 menganjurkan untuk tidak membatalkan.
📖 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻:
ولكن يطلب أدبياً ألا ينقض أحدهما وعده إلا لضرورة أو حاجة شديدة، مراعاة لحرمة البيوت وكرامة الفتاة
“𝘈𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪, 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘫𝘶𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶𝘯𝘺𝘢, 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘴𝘢𝘬, 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵. (𝘏𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶) 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘬𝘦𝘩𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢.” (𝙎𝙮𝙚𝙠𝙝 𝙒𝙖𝙝𝙗𝙖𝙝 𝙖𝙯-𝙕𝙪𝙝𝙖𝙞𝙡𝙞, 𝙖𝙡-𝙁𝙞𝙦𝙝𝙪𝙡 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢𝙞 𝙬𝙖 𝘼𝙙𝙞𝙡𝙡𝙖𝙩𝙪𝙝, 𝟮𝟬𝟭𝟬: 𝙟𝙪𝙯 𝟵, 𝙝. 𝟭𝟵).
📖 𝗜𝗺𝗮𝗺 𝗭𝗮𝗸𝗮𝗿𝗶𝗮 𝗠𝘂𝗵𝘆𝗶𝗱𝗱𝗶𝗻 𝗬𝗮𝗵𝘆𝗮 𝗯𝗶𝗻 𝗦𝘆𝗮𝗿𝗼𝗳 𝗮𝗻-𝗡𝗮𝘄𝗮𝘄𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯 𝗮𝗹-𝗔𝗱𝘇𝗸𝗮𝗿 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗷𝗮𝗻𝗷𝗶, 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮:
‘‘𝙐𝙡𝙖𝙢𝙖' 𝙆𝙖𝙡𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙎𝙮𝙖𝙛𝙞’𝙞𝙮𝙖𝙝 𝘴𝘦𝘱𝘢𝘬𝘢𝘵, ‘‘𝘴𝘶𝘯𝘯𝘢𝘩 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘱𝘢𝘵𝘪 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪, 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘰𝘯𝘴𝘦𝘬𝘶𝘦𝘯𝘴𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘮𝘢𝘬𝘳𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.‘‘ (𝙄𝙢𝙖𝙢 𝙉𝙖𝙬𝙖𝙬𝙞, 𝙖𝙡-𝘼𝙙𝙯𝙠𝙖𝙧 𝙡𝙞𝙣 𝙉𝙖𝙬𝙖𝙬𝙞, [𝘽𝙚𝙞𝙧𝙪𝙩: 𝘿𝙖𝙧 𝙖𝙡-𝙁𝙞𝙠𝙧, 𝟭𝟵𝟵𝟰], 𝙝. 𝟯𝟭𝟳).
📒 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗴𝘂𝗻𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗔𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗲𝗽𝗮𝘁
Jika ikatan yang sudah disepakati sudah tidak bisa dirajut kembali, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka sebaiknya bagi pria yang melamar menggunakan alasan yang tepat ketika ingin membatalkannya.
📖 𝗦𝘆𝗲𝗸𝗵 𝗪𝗮𝗵𝗯𝗮𝗵 𝗮𝘇-𝗭𝘂𝗵𝗮𝗶𝗹𝗶 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗰𝗮𝗿𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿, 𝘆𝗮𝗶𝘁𝘂:
وينبغي الحكم على المخطوبة بالموضوعية المجردة، لا بالهوى أو بدون مسوغ معقول، فلا يعدل الخاطب عن عزمه الذي شاءه؛ لأن عدوله هو نقض للعهد أو الوعد
“𝘚𝘦𝘣𝘢𝘪𝘬𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘵𝘶𝘴𝘬𝘢𝘯 (𝘱𝘦𝘮𝘣𝘢𝘵𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘦𝘯𝘤𝘢𝘯𝘢 𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩) 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘮𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯-𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘣𝘶𝘢𝘵-𝘣𝘶𝘢𝘵, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵𝘪 𝘩𝘢𝘸𝘢 𝘯𝘢𝘧𝘴𝘶, 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘵𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘢𝘬𝘢𝘭. 𝘚𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢, 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘵𝘶𝘫𝘶𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘢 𝘬𝘦𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬𝘪, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘪𝘢 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢𝘱 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪-𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘺𝘢.” (𝙎𝙮𝙚𝙠𝙝 𝙒𝙖𝙝𝙗𝙖𝙝 𝙖𝙯-𝙕𝙪𝙝𝙖𝙞𝙡𝙞, 𝙖𝙡-𝙁𝙞𝙦𝙝𝙪𝙡 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢𝙞 𝙬𝙖 𝘼𝙙𝙞𝙡𝙡𝙖𝙩𝙪𝙝, 𝟮𝟬𝟭𝟬: 𝙟𝙪𝙯 𝟵, 𝙝. 𝟭𝟵).
📝 𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮:
➡ Jika sudah jelas ditemukan alasan yang bisa diterima oleh akal dan dibenarkan dalam 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢, segera membatalkan 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝𝙣𝙮𝙖 justru lebih baik, agar pihak wanita tidak terlalu mengharapkannya.
➡ Namun, jika alasannya tidak bisa dibenarkan, sekadar mengikuti hawa nafsu, atau bahkan hanya alasan yang dibuat-buat, membatalkan 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝 justru tidak baik. Karena membatalkannya menunjukkan ia bukan laki-laki yang bisa dipercaya, sehingga orang lain tidak mudah untuk percaya kepadanya.
➡ Tidak hanya itu, janji yang sudah disepakati, seperti janji 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝, namun tidak dipenuhi akan dipertanyakan oleh Alloh Ta'ala, kelak di akhirat.
📚 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗔𝗹-𝗤𝘂𝗿’𝗮𝗻 𝗔𝗹𝗹𝗼𝗵 𝗧𝗮'𝗮𝗹𝗮, 𝗯𝗲𝗿𝗳𝗶𝗿𝗺𝗮𝗻:
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“𝘿𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝𝙞𝙡𝙖𝙝 𝙟𝙖𝙣𝙟𝙞 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙟𝙖𝙣𝙟𝙞 𝙞𝙩𝙪 𝙥𝙖𝙨𝙩𝙞 𝙙𝙞𝙢𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙩𝙖𝙣𝙜𝙜𝙪𝙣𝙜𝙟𝙖𝙬𝙖𝙗𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖.” (𝙌𝙎 𝘼𝙡-𝙄𝙨𝙧𝙤’: 𝟯𝟰)
Oleh karenanya, seperti apa pun alasannya, jika masih bisa dilanjutkan, lebih baik tidak membatalkan janji dalam 𝙆𝙝𝙞𝙩𝙗𝙖𝙝𝙣𝙮𝙖, menimbang efek yang akan terjadi pada dirinya, berupa tidak akan dipercaya oleh orang lain, juga tidak kalah penting mengingat firman Alloh Ta'ala, di atas.
📒 𝗠𝗲𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝗕𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗶𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮𝗻
Di banyak tradisi masyarakat di 𝙄𝙣𝙙𝙤𝙣𝙚𝙨𝙞𝙖 ada kebiasaan ketika melamar, keluarga pelamar mendatangi pihak keluarga orang yang ingin dilamar dengan membawa berbagai bentuk barang, seperti uang, pakaian, dan bahkan ada juga yang memberikan barang-barang pokok.
Dari kebiasaan ini akan muncul permasalahan, yaitu tentang meminta kembali barang yang telah diberikan kepada pihak yang dilamar, seiring dengan pembatalan rencana pernikahan.
Saat percekcokan terjadi, misalnya, dan berujung salah satu dari kedua pihak memilih untuk tidak melanjutkan janji, maka diperbolehkan bagi pihak pria menarik kembali barang yang telah diberikan, baik barang itu masih ada, hilang, atau sudah rusak. Hanya saja, jika sudah rusak, maka ia boleh meminta nominalnya.
📖 𝗦𝘆𝗲𝗸𝗵 𝗪𝗮𝗵𝗯𝗮𝗵 𝗮𝘇-𝗭𝘂𝗵𝗮𝗶𝗹𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻:
وفي حال الهلاك أو الاستهلاك يرجع بقيمته إن كان قيمياً، وبمثله إن كان مثلياً
“𝘑𝘪𝘬𝘢 (𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯) 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘯𝘰𝘮𝘪𝘯𝘢𝘭 𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢 𝙈𝙪𝙩𝙖𝙦𝙤𝙬𝙖𝙢 (𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘪𝘵𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘰𝘮𝘪𝘯𝘢𝘭 𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢), 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢 𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝙈𝙞𝙩𝙨𝙡𝙞 (𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘪𝘵𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘬𝘢𝘳, 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘴, 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢).” (𝙎𝙮𝙚𝙠𝙝 𝙒𝙖𝙝𝙗𝙖𝙝 𝙖𝙯-𝙕𝙪𝙝𝙖𝙞𝙡𝙞, 𝙖𝙡-𝙁𝙞𝙦𝙝𝙪𝙡 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢𝙞 𝙬𝙖 𝘼𝙙𝙞𝙡𝙡𝙖𝙩𝙪𝙝, 𝟮𝟬𝟭𝟬: 𝙟𝙪𝙯 𝟵, 𝙝. 𝟭𝟵). Semoga bermanfaat